11 Okt 2013

Hubungan Sitohang, Siringo-ringo, Situmorang dengan Si Pitu Ama

Sitohang adalah salah satu marga yang turun dari seorang leluhur yang dikenal dengan nama Ompu Tuan Situmorang. Marga-marga lain yang lahir dari Op. Tuan Situmorang adalahSitumorang sendiri, Siringo-ringo dan Sitohang. Op. Tuan Situmorang adalah anak laki-laki pertama dari ketujuh anak Si Raja Lontung.

Op. Tuan Situmorang memiliki dua orang anak yaitu: Panoparaja dan Op. Pangaribuan. Panopa Raja memiliki dua anak yaitu Op. Niambolas dan Parhujobung. Sedangkan Op. Pangaribuan hanya memiliki seorang anak yaitu Raja Babiat. Op. Niambolas memiliki dua anak yaitu Lumban Pande dan Lumban Nahor. Parhujobung memiliki dua anak yaitu Suhutnihuta dan Tuan Ringo (Siringo-ringo). Sedangkan Raja Babiat memiliki tiga orang anak yaitu: Dari Mangambat (Sitohang Uruk), Raja Itubungna (Sitohang Tonga-tonga) dan Op. Bonanionan (Sitohang Toruan).

Ompu tuan Situmorang kepada ketujuh cicitnya Lumban Pande, Lumban Nahor, Suhutnihuta (ketiganya hingga saat ini tetap menggunakan marga SITUMORANG), Siringo-ringo dan ketiga saudaranya yang lain Dori Mangambat, Raja Itubungna dan Ompu Bonanionan (ketiga yang terakhir ini umumnya saat ini menggunakan marga SITOHANG) berpesan agar keturunan ketujuh cicitnya itu dipanggil dengan pomparan ni “SIPITU AMA”.

Op. Tuan Situmorang selanjutnya berpesan juga kepada ketujuh cicitnya itu agar mereka semua memperlakukan anak yang lain sebagai anak diri sendiri: “Sisada lulu di anak, sisada lulu diboru” . Dan bahwa keturunan mereka bertujuh tidak boleh saling menikah satu sama lain sampai akhir zaman. Ketujuh cicit Op. Tuan Situmorang tadi mengiyakan dan menerima pesannya sebagai padan (janji).  

Bagi orang Batak janji dianggap lebih tinggi tingkatnya dari hukum tertulis. Seperti umpama Batak berikut ini:

Tanggo uratni bulung 
Tanggoan uratni hotang 
Tanggo nidok ni uhum 
Tanggoan nidokni padan 

Janji ketujuh cicit Op. Tuan Situmorang inilah yang hingga saat ini dipegang teguh oleh keturunan mereka. Namun seringkali karena penafsiran yang berbeda-beda, keturunan ketujuh leluhur ini sering mengalami perselisihan mengenai bagaimana mereka seharusnya melakukan kegiatan adat dan perkumpulan. Keturunan keempat cicit yang terdahulu (dari satu nenek yang namanya Parhujobung) menganggap bahwa semua kegiatan adat keturunan ketujuh cicit Op. Tuan Situmorang tadi harus menggunakan nama yang satu yaitu “Pomparan ni Op. Tuan Situmorang Sipitu Ama” yang seringkali disingkat menjadi Pomparan ni Sipitu Ama atau seringkali cuma disebut Punguan SITUMORANG. 

Tidak boleh ada acara adat atau perkumpulan selain yang menggunakan nama Op. Tuan SItumorang dan harus dihadiri oleh keturunan ketujuh cicit Op. Tuan Situmorang. Malah ada pula sebagian Situmorang yang menganggap SITOHANG bukanlah marga. Namun keturunan tiga cicit Op. Tuan Situmorang yang terakhir (dari satu nenek Op. Pangaribuan) merasa mereka sudah resmi diberi marga sendiri oleh Op. Tuan Situmorang di depat raja-raja adat pada masanya yaitu marga SITOHANG sehingga merasa wajib untuk memajukan nama marga itu sendiri. Keturunan SITOHANG tetap merasa menghormati dan terikat dengan padan leluhur, tetapi merasa berhak untuk mengatur sendiri rumah tangganya dan mengurus perkumpulan marga SITOHANG. Lagipula keturunan marga SITOHANG sering kecewa karena nama perkumpulan SIPITUA AMA kadang-kadang diubah menjadi hanya perkumpulan SITUMORANG saja. Sitohang merasa nama perkumpualn seharusnya tetap POMPARAN NI OMPU TUAN SITUMORANG SIPITU AMA atau kalau disingkat SIPITUA AMA saja. Kalau punguan dinamai SITUMORANG saja maka SITOHANG merasa tidak perlu ikut karena SITOHANG adalah marga sendiri seperti halnya SITUMORANG.

Perbedaan padangan seperti itu seringkali terjadi baik saat berlangsungnya acara adat maupun di luar acara adat. Seperti yang dialami dan dituliskan oleh Ir. Nimrod Sitohang (Ama Naomi) dari Batam berikut ini.

Suatu pagi Maret tahun 2007 jam 8.00 WIB. Saya berangkat menuju simpang Kapling Lama Batu Aji mau menggantungkan spanduk Pesta Bona Taon SITOHANG di Batam. Kebetulan Pesta Bona Taon Sitohang diadakan di gedung aula gereja HKI Batu Aji lama Batam. Begitu tali naik, datang seorang bapak, sepertinya orang kantoran PNS, dan dia bertanya dengan sinisnya, “Memang Sitohang udah punya pesta sendiri ya?” Dengan cuek sambil asik mengikat tali berikutnya saya katakan, “Ya…amang..ini baru perdana di Batam.” “Kenapa tidak bergabung sama Situmorang?” kata orang tersebut bertanya lagi. Ini pertanyaannya yang kedua. “Sitohang tetap koq ikut di Situmorang…dan saya sendiri ikut kasih toktok ripe,” jawab saya.
Lalu orang tersebut melanjutkan pertanyaan yang ketiga, “Seharusnya jangan bikin pesta bona taon sendiri.” Lalu saya jawab “Di pesta bona taon Situmorang, yang jadi subjeknya hanya Situmorang, yang ini subjeknya Sitohang…” Lalu orang tersebut bertanya lagi,”Kamu Sitohang dari mana?” Saya jawab,” Baringin Parlilitan.” Akhirnya pertemuan kami yang tidak direncanakan itu bubar begitu saja dan tanpa ada sapa sapaan lagi. 
Maret 2008, jam 19.00 WIB. Saya kembali kebagian tugas menggantung spanduk acara Pesta Bona Taon Punguan Sitohang dohot Boruna se Batam tahun 2008 di Cafe Martabe Batu Aji. Kebetulan lagi nyari tali plastik untuk ngikat, dan pergi ke kedai dekat Cafe untuk membeli tali. 
Saya : “Horas amang.. mau beli tali.” Saya memanggil amang kepada pemilik kedai itu sebab kelihatannya bapak itu sudah tua.
Yang punya kedai: “Boasa maramang ho tuahu?” orang tua tersebut bertanya dengan nada emosi..(artinya: kenapa kamu panggil bapak kepada saya?)
Saya : “Lho…?” sambil merasa aneh, “Koq nanya gitu amang? Jadi saya harus manggil apa?”
Pemilik kedai: “Marga aha ho?” (Kamu marga apa).
Saya: “Sitohang. kalau bapak?”
Pemilik kedai: “Sipituama!”
Saya: “Sipituama na papigahon hamu?” (Anda sipitu ama yang keberapa?)
Pemilik kedai: “Dang porlu botoonmu!” (Kamu tidak perlu tahu!)
Saya: “Kenapa?”
Pemilik kedai: “DANG PORLU !!!”, katanya dengan suara tinggi sambil meninggalkan saya dan masuk ke dalam rumahnya.
Sambil masuk ke dalam rumahnya dan sya mengejarnya sambil bertanya, “Marga aha do huroha ho bapa tua sian sipitu ama i?” (Marga rupaya bapak tua dari Sipitu Ama itu?)
Pemilik kedai dengan mata merah dan suara tinggi berkata, “Dang adong marga Sitohang!.” (Tidak ada marga Sitohang).
Saya: “Itu salah..dan saya tidak terima.”
Pemilik kedai: “Asa diboto ho..Situmorang do sude termasuk Siringo.” (Supaya kamu tahu semua itu adalah Situmorang termasuk Siringo-ringo).
Saya : “Sitohang itu marga.” Ditengah emosi kami berdua akhirnya istrinya keluar dari dapur.
Saya : “Horas omak tua. Sitohang do au.” (Horas ibu tua, saya Sitohang)
Ibu tua: “Sarupa doi, alai dokma Situmorang nian..” (Itu sama saja. Tapi katakanlah SItumorang)
Saya: “Ya sudah,, saya Sitohang dan saya Situmorang. Boru aha do omak tua?” (Ibu tua puteri marga apa?)
Ibu tua: “Boru Sinaga.” (Puteri marga Sinaga)
Saya: “Isteriku juga boru Sinaga Bonor.”
Ibu tua; “Sarupa ma tu ahu” (Sama dengan saya) Akhirnya saya menyalami bapak tua itu dan saya katakan,”Horas pariban..ro hamu tu pesta bona ton ni Sinaga da. Kebetulan adong uddangan di au, hu taruhon pe sogot.” (Horas saudaraku, datanglah ke pesta buka tahun marga Sinaga ya. Kebetulan undangannya ada sama saya. Besok akan saya antar.”
Pemilik kedai: “Adong do di au.” (Saya punya juga) Akhirnya kami berpelukan dan suasana berubah menjadi mengharukan….
Saya: “Mauliate ma..” (Terimakasih)
Ibu tua: “Nion ma baen tali na, “ katanya sambil memberi tali plastik yang sangat bagus….(Inilah buat talinya)

Sumber:http://sitohanguntuktapanuli.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar